Sebelum Belanda menginjakkan kakinya di Maumere, tempat ini
terkenal dengan nama Sikka Alok atau
Sikka Kesik. Pada masa Raja Don Alessu, hanya dikenal pelabuhan Waidoko (yang
terletak di sebelah barat dari Maumere sekarang) Lama-kelamaan tempat ini berkembang
menjadi sebuah pasar dengan sistem perdagangan barter. Barang-barang ditukar
dengan barang-barang pedagang dari Gina, Bugis dan Makassar.
Di pinggiran pantai terdapat gubuk-gubuk orang Makassar,
sebelah atasnya berdiam penduduk asli Sikka. Mereka menyebut diri Sikka Kesik
atau Sikka Alok yang lazim di sebut "Alok". Raja Sikka menempatkan
Noang Kurangpung dengan jabatan Command-anti, sebagai pengawas, atau penguasa
pelabuhan dan Kepala Wilayah Utara. Sedang Raja Sikka sendiri berdiam di Sikka (pantai
selatan). Belanda mulai mendiami Sikka Alok dengan membuka kantor Pemerintah
Belanda.
Mengingat pelayaran yang makin ramai, maka kegiatan
ditingkatkan dengan mengukur dalamnya laut, dalamnya pelabuhan, teluk, tanjung,
sungai serta kampung-kampung yang dalam wilayah itu dimasukkan ke dalam peta
Flores dan peta pelayaran. Banyak teluk di beri nama seperti Maunori Mauponggo,
Mauloo dan terakhir Maumere yang dimaksud pelabuhan Sikka Alok. Para Nakhoda
kapal putih berasal dari Ende hanya langsung mengenal nama Maumere.
Setelah daftar nama-nama itu dikirim ke pusat, muncullah
nama Maumere untuk Sikka Alok. Nama Maumere itulah yang terus dipakai
Pemerintah Belanda misalnya untuk sebutan Onderafdelling Maumere, Controleur
van Maumere. Begitu juga para pedagang yang hanya mengenal Maumere, sementara
orang orang sendiri masih menggunakan Sikka Natar, Sikka Alok, Wawa Alok atau
Lau Alok (sebutan bagi orang-orang koting, Nelle, dan Ili). Juga administrasi
Raja Sikka masih menggunakan istilah Sikka seperti de Radja van Sikka bukan de
Radja van Maumere. Mengenai bahasa masih disebut bahasa Sikka atau bahasa Sikka
Krowe dan bukan bahasa Maumere. Maumere kemudian hanya digunakan untuk nama
kota, kota Maumere sampai sekarang.
Sebelum tahun 1885, dilMaumere telah dibangun sekolah
standar oleh Bruder Amatus van der Velden untuk putera-puteri pribumi. Sekolah
dimulai oleh para Suster van Liefde (sintakasih) bagi wanita atas bantuan raja.
Pada tanggal 12 September 1895 Raja Jatti (Raja Andreas Mo'angJatti da Silva)
datang mengantar 28 anak wanita dari Sikka untuk bersekolah di Maumere. Diantaranya
anak-anak Lepo Gete.
Pada tanggal 26 Februari 1896 dibangun tiang pertama untuk
istana raja Sikka di Maumere oleh para tukang dari Makasar serta Bonarate.
Maumere semakin dipadati oleh para pedagang Cina, Bugis, Selayar, dan
sebagainya. Dalam hal ini, raja Sikka harus mengatur serta menertibkan kota,
mengurus pembagian tanah untuk sekolah, untuk misi, untuk toko dan pasar, untuk
orang luar dan sebagainya. Juga agar keamanan di pelabuhan terjamin.
Tokoh Cina yang terkenal saat itu seperti Tan Khe King, Tan
Ke Kang, Tan Ke Seng, Yap tie tie, Liem A Poh, Liem Tung King, Tan Kunhui, dan
sebagainya. Mereka diberi tempat di pe abuhan sekarang. Untuk mereka ditunjuk
sebagai seorang wijkmeester yang sederajat dengan kepala desa. la membawahi
semua warga yang disebut Vremde Oosterlingen atau Timur Asia.
Rumah-rumah dibangun dengan beraturan sepanjang jalan lurus
dari utara ke selatan menuju Wolongbetang (bukit Potong). Mula-mula diatur
jalur-jalur jalan dalam kota, kemudian dibagi untuk kompleks perumahan seperti
kantor H p B dan Raja di tengah lapangan Tugu, di samping barat toko-toko,
samping kiri toko, sebelah selatan penjara, pasar, di sebelah jembatan rumah
Posthouder (Gezaghebber). Selain itu didirikan dekat kantor HI) B (Lapangan
tugu) Landscap Woning artinya Rumah Landscap (kerajaan) bagi Para pegawai.
Pada 23 Januari 1905 dibangun tiang-tiang untuk penjara
(lembaga pemasyarakatan) yang terus bertambah. Ada yang dari kampung-kampung,
ada yang dari Timor, dari Ende, dan dari Sumba. Menurut kebiasaan masa lalu,
para penjahat hanya ditahan beberapa lama di halaman istana Raja, dan dijaga
oleh orang-orang yang kuat. Mereka dijemur dipanas atau diikat dengan tali.
Kemudian dilepas kembali karena tidak ada penjara atau rumah bui. Namun selesai
penjara, sudah ada tata tertib untuk para hukuman dengan kerja tetap di dalam
kota untuk membersihkan kota, menyapu jalan, menutupi rawa-rawa yang masih ada
dekat pelabuhan dan kantor pemerintah (lapanganTugu).
Sejak 17 Februari 1897, Standaardschool sudah di pindahkan
ke Lela karena cuaca Maumere yang tak segar oleh malaria. Dua buah sekolah
dipindahkan sekaligus oleh Pater E S. Luypen SY. Di Maumere hanya tinggal
sebuah sekolah kecil dengan tiga kelas, untuk anak-anak serta beberapa anak
dari jauh. Sedang di Lela, terbuka kesempatan untuk mereka yang dari Ende dan
Manggarai. Meskipun demikian Maumere masih tetap dikunjungi sekian banyak murid
dengan guru Lose, juga seorang guru asal Manado. Di bawah pimpinan Posthouder
Kailola seorang katolik Belanda Ambon. Situasi Maumere sekitarnya maju pesat.
Agama katolik berkembang dengan pesatnya. Gel-eja Maumere yang pertama
berlokasi kira-kira pada SD sekarang, dengan atap ilalang, dibawah asuhan Pater
Ten Brink dan bruder Muhle serta Hanseates.
Kampung Wolokoli yang terletak di sebelah kali bagian timur,
dipindahkan ke kampung Kabor sekarang dengan nama Naterwerung. Kampung Makasar
dan Selayar yang berada dekat kali bagian utara digeser agak ke timur dengan
nama kampung Beru. Pendiri kampung Beru ialah Mo'ang Beru Hedung.
Pada tahun 1905 mulai dibuka jalan raya dari Maumere ke
Geliting, juga Maumere ke Koting langsung ke Lela. Ke Geliting waktu itu orang
hanya menyusur pantai atau bersampan. Setelah jalan raya dibuka dari Maumere ke
Geliting, raja mulai memakai bendi. Haji-haji dari Geliting pun mulai berbendi
( kendaraan yang ditarik oleh kuda seperti di Jawa).
Dalam tahun itu juga dibangun gedung pasar dengan
tiang-tiang dari lontar. Letaknya berhadapan dengan kantor Posthouder.
Sebelumnya orang-orang hanya berjualan dibawah pohon beringin atau di tepi pantai.
Mereka langsung bertukaran barang (barter) dengan ikan, garam atau padi, dan
jagung. Ada yang memakai mata uang ada yang belum memakainya.
Pasar juga mulai dibangun di Geliting, kemudian di Lela dan
di Nangahale. Orang-orang mulai beramai-ramai berdatangan ke Nangahale menjual
beras dan membeli pakaian. Di Lela, selalu penuh dengan orang Lio dan Nita
Koting yang turun berbelanja. Orang-orang Cina juga menggunakan pasar-pasar itu
untuk menjual pakaian, pisau, parang, jarum, benang, celana dan minyak tanah.
Pasar begitu berkembang, perdagangan begitu semarak, di Maumere, di Lela dan
Geliting.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar